Perfect
Rhythm
Alun biola
begitu merdu memanggil untuk didatangi, agar terdengar lebih jelas. Merdu
sekali, merubah tujuan kedatangan sebenarnya. Awalnya aku hanya ingin menjemput
adikku dari kursus musiknya, namun nyanyian ini begitu memesona hingga aku
ingin mendengar lebih lagi dan lagi. Seorang gadis berambut panjang berponi,
berbibr mungil merah merona, kulit putih
dan pipi yang agak chubby menggesek
biola dengan indahnya. Biola putih itu harmonis menyatu dengan warna gaun indah
yang dikenakan oleh gadis itu. Inikah sosok nyata bidadari? Dimana sayapnya? Ah
entahlah yang jelas wajahnya bersinar secerah cahaya surga yang bisa
kubayangkan.
Tok tok.
Ku ketuk pintu yang sebetulnya telah terbuka itu, membuatnya membuka mata, mata
yang bulat nan indah menatap kearahku. “Permisi, saya ingin menjemput keponakan
saya, dia ikut kursus piano, dimana ruangannya?” tanyaku pada gadis manis itu,
ini memang pengalaman pertamaku menjemput Viona, keponakanku yang paling manis
sedunia.
Gadis itu
berjalan kearah pintu, mendatangiku. Deg deg deg, detak jantungku seirama
dengan langkah kaki nya. Ia tersenyum menyapaku, membawaku terbang ke langit
yang entah lantai berapa. Ia menggerakkan tangannya seolah berkata “Ikuti aku”,
tersenyum kembali.
“Namaku
Surya, terimakasih sudah mau mengantarku” Kataku membuka percakapan. Gedung ini
ternyata lebih besar dari kelihatannya, cukup jauh untuk sampai keruang piano.
Ia tak menjawab, hanya tersenyum seperti sebelumnya. Aku tidak kesal dengan
sikapnya itu, biasa saja, mungkin ia pemalu atau super pendiam. Lukisan-lukisan
kontemporer mengiringi perjalanan kami ke ruang piano. Beberapa ruang telah
kami lewati , semua dinding berwarna sama putih bersih dengan sedikit garis
kuning keemasan, nuansa klasik modern begitu kental di dalam gedung berlantai
tiga ini.
“Om Surya”
Teriak Viona nyaring sembari berlari kearahku. “Om Surya udah Vio tungguin dari
tadi, lama banget untung ada Om Genta, lukisan Om Genta bagus-bagus loh. Eh ada
Tante Nada juga. Yuk liat lukisan Om Genta” Seperti biasa Vio selalu ceria dan
penuh semangat, lihatlah dia menggandeng tanganku berlari-lari kecil ke arah Om
Genta yang ia kagumi. Ada beberapa Kanvas ditutupi kain putih. Sepertinya itu
merupakan lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya selesai, ditinggal oleh empunya
seni pulang kerumah masing-masing. Di kursi paling pojok ada Seorang pria
sederhana, dengan kemeja hitam polos mengenakan topi ala seniman berwarna
merah. Indah sekali lukisannya, meski belum selesai sempurna aku mengerti apa
yang ia lukis, seorang gadis dengan biolanya, sketsa wajahnya serupa oleh Nada,
sepertinya dia memang melukis Nada.
“Oh iya Om , Vio lupa ngenalin Om Surya ama Om
Genta dan Tante Nada. Om Genta adalah guru Lukis di tempat ini, lukisannya
sudah banyak dikenal oleh om om seniman lainnya. Katanya sih juga banyak yang
udah dibeli dengan harga yang mahal. Om Genta tidak bisa mendengar seperti kita
Om”
“ Nah kalo
yang cantik ini namanya Tante Nada om, Tante Nada cantik kan? Tante Nada guru
Biola sekaligus guru tercantik di gedung ini, tante Nada tidak bisa bicara om,
kami biasa mengobrol lewat tulisan begitu pula dengan Om Genta, mereka berdua
serasi kan om? Mereka sudah bertunangan minggu lalu” Vio menjelaskan seolah
mengerti benar apa yang hendak kutanyakan. Tidak ada manusia yang sempurna,
pepatah lama memang selalu benar, meski begitu aku tetap menilai mereka berdua
makhluk yang sempurna. Genta mungkin tidak bisa mendengarkan apa yang kita
dengar, namun ia mendengarkan alam, mendengarkan semesta dan isinya, lalu
membicarakannya dengan lukisannya yang begitu indah penuh makna. Nada? Ia
mungkin tak berbicara dengan bahasa yang kita gunakan, namun “nada” nya
terdengar merdu, terwakili oleh biola putih yang ia rengkuh dalam peluknya,
yang ia gesek dengan anggunnya. [ad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar