Minggu, 07 September 2014

Perfect Rhythm

Perfect Rhythm


Alun biola begitu merdu memanggil untuk didatangi, agar terdengar lebih jelas. Merdu sekali, merubah tujuan kedatangan sebenarnya. Awalnya aku hanya ingin menjemput adikku dari kursus musiknya, namun nyanyian ini begitu memesona hingga aku ingin mendengar lebih lagi dan lagi. Seorang gadis berambut panjang berponi, berbibr mungil  merah merona, kulit putih dan pipi yang agak chubby menggesek biola dengan indahnya. Biola putih itu harmonis menyatu dengan warna gaun indah yang dikenakan oleh gadis itu. Inikah sosok nyata bidadari? Dimana sayapnya? Ah entahlah yang jelas wajahnya bersinar secerah cahaya surga yang bisa kubayangkan.

Tok tok. Ku ketuk pintu yang sebetulnya telah terbuka itu, membuatnya membuka mata, mata yang bulat nan indah menatap kearahku. “Permisi, saya ingin menjemput keponakan saya, dia ikut kursus piano, dimana ruangannya?” tanyaku pada gadis manis itu, ini memang pengalaman pertamaku menjemput Viona, keponakanku yang paling manis sedunia.

Gadis itu berjalan kearah pintu, mendatangiku. Deg deg deg, detak jantungku seirama dengan langkah kaki nya. Ia tersenyum menyapaku, membawaku terbang ke langit yang entah lantai berapa. Ia menggerakkan tangannya seolah berkata “Ikuti aku”, tersenyum kembali.

“Namaku Surya, terimakasih sudah mau mengantarku” Kataku membuka percakapan. Gedung ini ternyata lebih besar dari kelihatannya, cukup jauh untuk sampai keruang piano. Ia tak menjawab, hanya tersenyum seperti sebelumnya. Aku tidak kesal dengan sikapnya itu, biasa saja, mungkin ia pemalu atau super pendiam. Lukisan-lukisan kontemporer mengiringi perjalanan kami ke ruang piano. Beberapa ruang telah kami lewati , semua dinding berwarna sama putih bersih dengan sedikit garis kuning keemasan, nuansa klasik modern begitu kental di dalam gedung berlantai tiga ini.

“Om Surya” Teriak Viona nyaring sembari berlari kearahku. “Om Surya udah Vio tungguin dari tadi, lama banget untung ada Om Genta, lukisan Om Genta bagus-bagus loh. Eh ada Tante Nada juga. Yuk liat lukisan Om Genta” Seperti biasa Vio selalu ceria dan penuh semangat, lihatlah dia menggandeng tanganku berlari-lari kecil ke arah Om Genta yang ia kagumi. Ada beberapa Kanvas ditutupi kain putih. Sepertinya itu merupakan lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya selesai, ditinggal oleh empunya seni pulang kerumah masing-masing. Di kursi paling pojok ada Seorang pria sederhana, dengan kemeja hitam polos mengenakan topi ala seniman berwarna merah. Indah sekali lukisannya, meski belum selesai sempurna aku mengerti apa yang ia lukis, seorang gadis dengan biolanya, sketsa wajahnya serupa oleh Nada, sepertinya dia memang melukis Nada.

 “Oh iya Om , Vio lupa ngenalin Om Surya ama Om Genta dan Tante Nada. Om Genta adalah guru Lukis di tempat ini, lukisannya sudah banyak dikenal oleh om om seniman lainnya. Katanya sih juga banyak yang udah dibeli dengan harga yang mahal. Om Genta tidak bisa mendengar seperti kita Om”

“ Nah kalo yang cantik ini namanya Tante Nada om, Tante Nada cantik kan? Tante Nada guru Biola sekaligus guru tercantik di gedung ini, tante Nada tidak bisa bicara om, kami biasa mengobrol lewat tulisan begitu pula dengan Om Genta, mereka berdua serasi kan om? Mereka sudah bertunangan minggu lalu” Vio menjelaskan seolah mengerti benar apa yang hendak kutanyakan. Tidak ada manusia yang sempurna, pepatah lama memang selalu benar, meski begitu aku tetap menilai mereka berdua makhluk yang sempurna. Genta mungkin tidak bisa mendengarkan apa yang kita dengar, namun ia mendengarkan alam, mendengarkan semesta dan isinya, lalu membicarakannya dengan lukisannya yang begitu indah penuh makna. Nada? Ia mungkin tak berbicara dengan bahasa yang kita gunakan, namun “nada” nya terdengar merdu, terwakili oleh biola putih yang ia rengkuh dalam peluknya, yang ia gesek dengan anggunnya. [ad]



Tidak ada komentar: